BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hukum humaniter atau hukum perang atau hukum pertikaian bersenjata mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan kemanusian dan kebutuhan militer dari negara-negara. Seiring dengan perkembangan komunitas internasional, sejumlah negara diseluruh dunia telah memberikan perkembangan sumbangan atas perkembangan hukum humaniter internasional. Pada perkembangan atau dewasa ini hukum humaniter internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang benar-benar universal, untuk mengetahui sumber hukum utama dari hukum humaniter itu sendiri dari beberapa tulisan menyebutkan biasanya adalah hukum den haag dan hukum jenewa.
Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang atau untuk mengadakan undang-undang yang menentukan permainan “perang”, tetapi karena alasan-alasan perikemanusian untuk mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu dan untuk membatasi wilayah dimana kebuasan konflik bersenjata diperbolehkan. De ngan alasan-alasan ini, kadang-kadang hukum humaniter disebut sebagai peraturan tentang perang berperikemanusian.[1] Hukum humaniter atau saat terjadinya suatu pertikaian bersenjata sangat diharuskan untuk memperhatikan prinsip-prinsip kemanusian. Tujuan utama hukum hunaniter adalah memberikan perlindungan dan pertolongan kepada yang menderita/ menjadi korban perang, baik mereka secara nyata/ aktif turut serta dalam permusuhan (koombat), maupun mereka yang tidak turut serta dalam permusuhan (penduduk sipil = civilian population).
Sangat penting pula untuk mengetahui landasan prinsip dari hukum humaniter itu sendiri yang tentu ada kaitannya pula dengna kemanusiaan yakni 1) kepentingan militer (military necessity); 2) kemanusian (humanity); 3) ksatriaan (chivalry). Tentang tiga prinsi tersebut pendapat dari Kunz menyatakan bahwa harus ada keseimbangan antara prinsip kemanusian dan prinsip kepentingan militer. Usaha untuk menemukan keseimbangan itu tidak selalu mudah karen apada umumnya kedua prinsip tersebut saling bertentangan.[2]
Berakhirnya Perang Dunia II merupakan suatu momentum penting bagi perkembangan HAM secara internasional. Hal itu, antara lain, ditandai dengan dibentuknya Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tahun 1945 serta dihasilkannya Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration of Human Rights / UDHR) pada tahun 1948. Dalam perkembangan selanjutnya, kedua hal tersebut terbukti memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perlindungan HAM maupun pembentukan mekanisme penegakannya secara internasional. HAM dewasa ini telah menjadi topik pembicaraan yang utama (discourse) di berbagai belahan dunia. HAM tidak saja menjadi masalah nasional suatu negara tetapi juga telah menjadi masalah internasional. Dengan perkataan lain, HAM pada saat ini telah menjadi isu penting dalam hubungan internasional.
Salah satunya hak yang bersifat pokok yang diatur di dalam UDHR yakni hak untuk tidak disiksa. dalam Pasal 5 UDHR, menyebutkan “No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment.” Dalam instrumen hukum HAM internasional, penyiksaan pada saat ini secara khusus telah diatur dalam Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment/CAT) tahun 1984.
Dalam hukum humaniter internasional, pengaturan mengenai hak-hak asasi manusia, yaitu terdapat dalam pasal 3 Konvensi Jenewa 1949. Pasal ini penting karena membebankan kewajiban kepada pihak yang bertikai untuk tetap menjamin perlindungan kepada orang perorangan dengan mengesampingkan belligerent menurut hukum atau sifat dari sengketa bersenjata yang terjadi. Konfensi internasional mengenai hak asasi manusia yang diselenggarakan oleh PBB di Taheran pada tahun 1968 secara resmi menjalin hubungan Hak asasi manusia dengan hukum humaniter internasional.
Banyaknya para korban pertikaian bersenjatayang tidak dapat merasakan hak-hak universalnya secara aman. Dengan adanya pertikaian bersenjata yang terjadi para pihak yang tidak ikut secara aktif maupaun para hors de combatan merasakan keadaan yang sangat mencekam ketika hak-hak mereka yang seharusnya dilindungi secara universal dalam nasional maupun internasional telah diambil. Sudah menjadi permasalah bersama bagi dunia internasional di mana, masyarakat sipil sering turut merasakan kerugian akibat perang dimana terkadang sipil sendiri digunakan sebagai tameng bagi kepentingan militer. Sipil digunakan sebagai tameng dalam banyak hal, seperti penempatan sipil dalam military object maupun sebagai alat untuk mencapai kepentingan militer dari masing-masing pihak. Saat perang berlangsung, hak asasi masyarakat sipil lebih sering terabaikan daripada diperjuangkan dan diperhatikan. Hak asasi masyarakat sipil dalam konflik bersenjata inilah yang perlu untuk dilindungi, salah satunya adalah hak untuk tidak disiksa.
Tentu saja, rintangan-rintangan yang berat menyertai upaya para pembuat kebijakan, para aktivis dan para pengkaji hak-hak asai manusia. Implementasi hukum hak- hak asasi manusia nternasional sebagian besar tergantung pada persetujuan bangsa-bangsa sukarela; mekanisme untuk penataan dan pemberlakuan hak-hak asasi manusia masih dalam tahap masa pertumbuhan. Sungguhpun demikian, perhatian yang gamblang terhadap kemajuan hak-hak asasi manusia pasti terdapat di sini, karena kebutuhan maupun idealisme.[3]
Penting pula bagaimana posisi dari para negara-negara atau lebih tepatnya yakni para penegak hukum dalam pelaksaaan tugas dan wewenangnya, untuk melindungi dan menghormati hak-hak dari semua orang, baik yang ditegakan dalam hak asasi manusia maupun dalam hukum humaniter. Bila suatu negara dalam keadaan sengketa bersenjata atau kerusuhan dan ketegangan internal, atau dibawah keadaan darurat yang diumumkan, tidak boleh menghilangkan kewajiban tersebut, juga tidak dapat diberlakukan sebagai pembenaran bagi tidak dipatuhinya hak-hak dan kebebasan dasar. Keadaan-keadaan sengketa bersenjata tidak terjadi seketika. Keadaan demikian merupakan hasil dari kemerosotan hukum dan ketertiban di suatu negara yang merupakan tanggung jawab utama organisasi-organisasi penegak hukum. Keterlibatan para pejabat penegak hukum, sesuai dengan sifat tugas mereka, dalam menangani demontrasi dengan kekerasan, kerusuhan dan ketegangan yang dapat meningkat kepada perang saudara seharusnya menyadarkan mereka akan prinsip-prinsip hukum humaniter dan hak asasi manusia yang padu dalam operasi lapangan dan latihan.
1.2 Rumusan Masalah
- Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum bagi para korban dari penyiksaan di dalam suatu konflik bersenjata?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PENYIKSAAN DARI PERTIKAIAN BERSENJATA
Perlindungan hukum terhadap korban penyiksaan dapat dilihat dalam berbagai peraturan internasional yang telah banyak diratifkasi oleh beberapa negara di dunia ini. Diakuinya sebagai hak-hak universal yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun bagi setip orang. Keadaan konflik bersenjata justru telah merubah kebanyakan sikap orang atau lebih tepat sikap dari pihak yang bertikai untuk tidak mengindahkan aturan yang telah diatur secara internasional bagi hak-hak setiap orang terutama pihak rakyat sipil.Pengaturan dalam beberapa konvensi terhadap hak-hak asasi manusia secara universal harus terus ditegakkan dalam keadaan apapun nantinya di setiap negara. Pengaturan di dalam hukum jenewa pun memberika perhatian terhadap pihak mana yang dapat dijadikan sebagai obyek dalam peperangan atau pertikaian bersenjata dan yang bukan, kemudian dalam hukum den haag memberikan hak dan kewajiban kepada para pihak pesengketa bersenjata dalam melakukan operasi militer.
Dalam konvensi penentangan penyiksaan dirumuskan sebagi berikut
rasa sakit atau penderitaan yang luar biasa baik fisik maupun mental yang ditimbulkan oleh atau atas dorongan atau persetujuan atau persetujuan diam-diam pejabat publlik atau orang yang bertindak dalam kedudukan resmi, untuk tujuan memperoleh keterangan atau pengakuan dari orang yang disiksa itu atau dari orang ketiga, dengan menghukum orang yang karena suatu tindakan yang telah dilakukan atau disangka telah dilakukannya, atau dengan menekankan orang tersebut atau orang lain. (lihat Pasal 1 Konvensi menentangan Penyiksaan/ Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment/CAT tahun 1984)
Larangan penyiksaan bersifat mutlan dan tidak diketahui tanpa pengecualian. Tidak ada suatu keadaan pun penyiksaan dapat menjadi sah, juga tidak ada kemungkinan pembelaan yang berhasil untuk tindakan penyiksaan yang telah dilakukan. Darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa (lihat ICCPR, Pasal 4)
Salah satunya prinsip dasar yang dianut dalam hukum perang adalah pembedaan antara kombat dan penduduk sipil. Pembedaan ini perlu diadakan pertama untuk mengetahui siapa yang dapat/ boleh dijadikan obyek kekerasan dan siapa yang harus dilindungi.[4] Obyek hukum jenewa adalah menyelamatkan korban dari keadaan sengketa bersenjata – yaitu para anggota angkatan bersenjata yang tidak terlibat tindakan pertempuran (out of action), baik yang terluka, sakit, korban karam atau para tawanan perang maupun penduduk sipil dan pada umumnya orang yang tidak lagi ambil bagian dalam permusuhan.[5]
Konvensi Jenewa tidak hanya mengatur mengenai kewajiban bagi negara-negara peserta, tetapi juga mengatur tentang hak orang perorangan sebagai pihak yang dilindungi. Keempat Konvensi Jenewa 1949 menegaskan bahwa penolakan hak-hak yang diberikan oleh konvensi-konvensi ini tidak dapat dibenarkan. Apalagi dengan adanya Pasal 3[6] tentang ketentuan yang bersamaan pada Keempat Konvensi Jenewa 1949, yang mewajibkan setiap negara peserta untuk menghormati peraturan-peraturan dasar kemanusiaan pada sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional. Dengan demikian, maka Pasal 3 ini mengatur hubungan antara pemerintah dengan warga negaranya yang berarti mencakup bidang tradisional dari hak asasi manusia.
Dalam Costumary International Humanitarian Law disebutkan tentang Prinsip Pembedaan yakni pembedaan antara orang sipil dan kombatan, sebagai berikut:
Aturan 1
Pihak-pihak yang berkonflik harus setiap saat membedakan antara orang sipil dan kombatan. Penyerangan hanya boleh dilakukan kepada kombatan. Penyerangan tidak boleh diarahkan kepada orang sipil. (Konflik Bersenjata Interasional / Konflik Bersenjata Non-Internasional)
Aturan 2
Tindakan kekerasan atau ancaman kekarasan yang tujuan utamanya ialah untuk menyebar teror di kalangan penduduk sipil dilarang. (KBI/KBNI)
Aturan 3
Seluruh anggota angkatan bersenjata pihak yang terlibat konflik adalah kombata, kecuali personil medis dan personil keagamaan. (KBI/KBNI)
….
Aturan 6
Orang sipil dilindungi dari penyerangan, kecuali jika dan selama mereka ambil bagian secara langsung dalam permusuhan. (KBI/KBNI)
….
Perlakuan terhadap Orang Sipil dan Orang Yang Hors de Combat
Aturan 87
Orang sipil atau orang yang hors de combat (tidak atau tidak lagi ikut serta dalam permusuhan) harus diperlakukan secara manusiawi. (KBI/KBNI)
….
Aturan 89
Penyiksaan, perlakuan yang kejam atau tidak manusiawi, dan pelecehan terhadap martabat pribadi, terutma perlakuan yang menghina dan merendahkan derajat, adalah dilarang. (KBI/KBNI)
Konflik bersenjata yang terjadi secara internasional ataupun non internasional sangat relevan untuk membedakan antara keduanya. Antara keduanya sama-sama dapat menimbulkan adanya korban dari pihak yang seharusnya menjadi obyek untu dilindungi. Adanya kecendrungan hukum internasional meluas ke wilayah sengketa bersenjata noninternasional, dilihat dari perhatian masyarakat internasional terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum humaniter internasional yang terjadi dalam perang dalam negeri. Sebagai contoh, perhatian masyarakat internasional untuk menyelenggarakan peradilan atau penegakan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum yang terjadi semasa konflik dalam negara di Rwanda maupun Yugoslavia. Bahkan, dalam Statu Roma 1998 yang memuat dasar-dasar pembentukan dan penyeleggaran Mahkamah Pidana Internasional, ditegaskan pula bahwa Mahkamah Pidana Internasional mempunyai yurisdiksi terhadap pelanggaran Hukum Humaniter Internasional semasa perang yang tidak bersifat internasional atau sengketa bersenjata non internasional. [7]
Banyak perlakuan yang tidak manusiawi, perampasan terhadap hak asasi mnausia, bahkan kejahatan genosida dilakukan dalam suatu konflik bersenjata baik internasional maupun non internasional, itu menjadi dasar terbentuknya Mahkamah Pidana Internasional yang dituangkan dalam Statu Roma Pasal 5 dn membatasi hanya pada kejahatan-kejahatan paling serius yang menjadi keprihatian masyarakat internasional secara keseluruhan yakni salash satunya adalah Penyiksaan yang menjadi bagian dari kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanitiy), juga tindak pidana atau kejahatan-kejahatan perang terkait pelanggaran-pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam konfilk bersenjata internasional dalam kerangka hukum internasional atau pelanggaran serius terhadap Pasal 3 yang berlaku bagi keempat konvensi Jenewa dalam sengketa bersenjat yang bukan bersifat internasional
Praktik penganiayaan dilarang dalam hampir semua instrumen hak-hak asasi manusia internasional yang komprehensif. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (1948) menetapkan bahwa “tak seorangpun boleh dijadikan penganiayaan atau kekejaman perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat”. Sifat fundamental dari hak asasi manusia atau kebebesan dari penganiayaan ditekankan oleh fakta bahwa berdasarkan instrumen hak-hak asasi manusia internasional yang utama, hak ini tidak boleh dirampas apakah pada masa “keadaan negara darurat yang mengancam kehiduan bangsa”[8], atau “pada masa perang, atau keadaan negara darurat yang lain yang mengancam kehidupan bangsa”, atau “pada masa perang, yang membahayakan umum, atau keadaan darurat yang lai yang mengancam kemerdekaan atau keamanan negara Penanda tangan.”
Hak untuk tidak disiksa merupakan salah satu HAM yang bersifat pokok (core right) yang telah diatur dalam Pasal 5 UDHR, yaitu: “No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment.” Pengaturan mengenai hal itu juga terdapat dalam Pasal 7 ICCPR, yaitu: “No one shall be subjected to torture or to cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. In particular, no one shall be subjected without his free consent to medical or scientific experimentation.”
Tindak pidana terhadap kemanusiaan menurut Pasal Statau Roma adalah salah satu atau lebih dari beberapa perbuatan yang dilakukan dengan sengaja sebagai bagian dari serangan yang sistematis dan meluas yang langsung ditujukan terhadap penduduk sipil, seperti:
a) Pembunuhan;
b) Pembasmiaan;
c) Pembudakan
d) Deportasi atau pemindahan penduduk secara paksa;
e) Pengurungan atau pencabutan kemerdekaan fisik secara sewenang-wenang dan melanggar aturan-aturan dasar Hukum Internasional;
f) Penyiksaan;
g) Pemerkosaan , pembudakan seksual, pelacuran, kehamilan secara paksa, sterilisasi secara paksa atau berbagai bentuk kekerasan seksual lainnya;
h) Penindasan terhadap suatu kelompok yang dikenal atau terhadap suatu kelompok politik, ras bangsa, etnis, kebudayaan, agama, gender/jenis kelamin, sebagai dijelaskan dalam ayat (3) atau kelompok-kelompok lainnya, yang secara universal tidak diperbolehkan dalam hukum internasional, sehubungan dengan perbuatan yang diatur dalam ayat ini atau tindak pidana dalam yurisdiksi mahkamah;
i) Penghilangan orang secara paksa;
j) Tindak pidana rasial (apartheid);
k) Perbuatan tidak manusiawi lainnya yang serupa yang dengan sengaja mengakibatkan peneritaan yang berat, luka serius terhadap tubuh, mental atau kesehatan fisik seseorang.[9]
Dilihat dari sudut larangan terhadap penganiayaan yang dimuat dalam hampir setiap instrumen hak-hak assasi manusia yang komprehensif, dan fakta bahwa penggunaan penganiayaan telah dikutuk oleh banyak organisasi non pemerintahan yang berpengaruh. Larang terhapad penganiayaan telah disebut dengan tepat oleh Michael O’Boyle sebagai “contoh khas mengenai ius cogens atau suatu norma yang pasti dari hukum internasional yang umum bahwa tidak boleh ada pengurangan terhadap traktat.[10]
Karena berkategori sebagai jus cogens, maka larangan penyiksaan menimbulkan kewajiban bagi negara secara keseluruhan (obligation erga omnes) untuk mengambil tindakan hukum jika terjadi penyiksaan. Di samping itu, pada saat ini penyiksaan merupakan salah satu kejahatan yang tunduk pada yurisdiksi hukum internasional, sehingga untuk penyelesaiannya dapat diterapkan yurisdiksi universal (universal jurisdiction). Berdasarkan hal tersebut setiap negara memiliki kewenangan untuk memproses secara hukum pelaku penyiksaan tanpa dibatasi oleh: kewarganegaraan si pelaku maupun korbannya, locus delicti maupun tempus delicti. Penyiksaan juga merupakan kejahatan yang tidak mengenal daluarsa.
Larangan penyiksaan merupakan bagian dari hukum kebiasaan internasional dan telah dikodifikasi dalam UDHR (Pasal 5), ICCPR (Pasal 7), kodifikasi selanjutnya mengenai larangan penyiksaan adalah berkaitan dengan Konvensi menentang Penyiksaan dan Kekejaman, Perlakuan atau Penghukuman Tidak Manusiawi atau yang bersifat merendahkan martabat lainnya (CAT) yang disebutkan di atas suatu traktat multilateral yang telah diratifikasi oleh 150-an negara anggota PBB (Desember 1977)[11], berikut ini bunyi Pasal 4 CAT, yang memberikan pengaturan bahwa perlindungan hukum bagi korban penyiksaan sangatlah penting dan Negara lah yang memegang kewajiban tersebut untuk menegakkan hukuman bagi pelaku penyiksaan, seperti disebutkan sebagai berikut:
Pasal 4
- Setiap Negara pihak harus mengatur agar tindak pidana penyiksaan merupakan tindak pidana menurut ketentuan hukum pidananya . Hal yang sama berlaku bagi percobaan untuk melakukan peyiksaan dan bagi suatu tindakan oleh siapa saja yang membantu atau turut serta dalam peyiksaan.
- Setiap Negara pihak harus mengatur tindak pidana dapat di hukum dengan hukuman yang setimpal dengan pertimbangan sifat kejahatan.
Secara konkrit kewajiban negara menyangkut HAM diwujudkan dengan melindungi HAM setiap individu dari penyalahgunaan kekuasaan negara, menjamin eksistensi HAM setiap individu dalam ketentuan hukum maupun di dalam pelaksanaannya dan memenuhi HAM setiap individu. Misalnya terhadap hak untuk tidak disiksa (right not to be tortured), negara harus membuat aturan hukum yang melarang praktik-praktik penyiksaan untuk melindungi setiap individu dari tindak penyiksaan. Negara juga harus menjamin bahwa setiap individu harus bebas dari tindak penyiksaan. Negara juga harus benar-benar memenuhi hak untuk tidak disiksa secara nyata.
Peranan dari pemerintah atau negara sendiri memanglah sangat penting untuk dapat menegakkan hak untuk disiksa dalam suatu kondisi atau keadaan tertentu di negara tersebut, tetapi terkadang dalam situasi ketegangan dalam negari, aparat keamanan pemerintah mempunyai diskresi atau wewenangn untuk kemungkinan untuk menggunakan used of force (tindakan kekerasan), bahkan ada kemungkinan menghadapi masyarakata yang melakukan violence (tindakan kekerasan) atau mungkin armed violence (kekerasan bersenjata). Oleh karena itu kerugian atau penderitaan akibat situasi demikian dapat dialami, tidak saja oleh pihak-pihak yang menyebabkan gangguan keamanan tersebut, tetapi juga bisa dialami oleh mereka yang sudh tidal terlibat lagi maupun yang sebenarnya tidak terlibat dalam persitiwa tersebut.
Berkaitan dengan perlindungan para korban tindak kekerasan pada waktu situasi kekerasan dan ketegangan dalam negeri ini, hukum nasional dan hukum HAM berlaku menetapkan kewajiban para aparat negara untuk memperlakukan orang-orang yang ditahan atau korban lainnya untuk diperlakukan secara manusiawi, sebagaimana ditegaskan di atas dalam Pasal 4 CAT. Ada kesamaan tujuan antara perjanjian-perjanjian internasional dengan perjanjian internasional di bidang HAM, yaitu untuk memberi perlindungan kepada manusia. Berbeda dengan hukum humaniter internasional, perlindungan HAM hanya diberlakukan pada waktu damai dan dapat dikecualikan oleh negara jikalau pada waktu darurat terdapat ancaman terhadap kehidupan bangsa. Tetapi, aturan-aturan yang dapat mengecualikan perlindungan HAM tidak dapat diberlakukan terhadap perlindungan penghormatan HAM fundamental (HAM pokok) yanga menjamin penghomatan integitas fisik dn mental setiap manusia dan salah satunya adalah perlindungan dalam larangan penyiksaan.
Bagi operasi militer yang dilakukan bukan sebagai operasi perang, dan dilakukan untuk mengatasi gangguan keamanan atau ketegangan dalam negeri, penerapan hukum humaniter internasional bukanlah suatu kewajiban. Namun demikian, aturan-aturan hukum humaniter initernasional dapat digunakan secara analogi untuk menerapkan hukum nasional dan HAM yang harus diberlakukan setiap waktu. Bagi korban, penggunaan hukum humaniter internasional secara demikian dapat bermanfaat untuk mengurangi korban dan penderitaan akibat penggunaan tindankan kekerasan yang mungkin terjadi. Bagi aparat, penerapan hukum humaniter internasional demikian juga dapat bermanfaat untuk menghindari aparat dari penggunaan tindakan keras yang berlebihan dan untuk mencegah tuduhan pelanggaran hukum, termasuk sekiranya operasi tersebut ternyata di kemudian hari dinilai sebagai operasi perang. negara Republik Indonesia, telah memberikan perhatian terhadap perlindungan Hak asasi manusi di Indonesia dengan mengeluarkan undang-undang No. 39 thun 1999 tentang Hak asasi manusia, penyiksaan termasuk dalam kejahatan hak asasi manusia yang dimuat dalam Pasal 1 angka 4 dan lebih secra eksplisit dalam hukum nasional Indonesia Undang-Undang HAM menyatakan bahwa Pasal 4 “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebesan, …. adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun” . Indonesia telah meratifikasi berbagai konvensi mengenai hak asasi manusia menunjukkan betapa pedulinya bangas Indonesia untuk meberikan perlindungan bagi rakyat dalam hal hak-hak asasi manusia terlebih hak asasi manusia yang sangat fundamental. Terjadinya suatu konflik bersenjata dalam negara Indonesia berlaku atas aturan hukum nasional yang telah mengaturnya.
Banyak beragam kasus pelanggaran hak asasi manusia salah satunya adalah penyiksaa di berbagai negara, tiap negara mempunyai kewajiban dan tanggung jawabnya masing-masing atas terjadinya berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia terutama dalam hal kasus penyiksaan. Terkadang penyiksaan dapat sampai terjadi pada kasus lebih kejam yakni pembunuhan. Ketegasan bahwa aturan hukum humaniter internasional ditujukan diberlakukan pada situasi sengketa bersenjata internasional jelas termuat dalam Konvensi-konvensi Jenewa 1949. Adapun ketentuan-ketentun dalam Konvensi Jenewa 1949 yang dengan tegas menyatakan wajib berlaku untuk sengketa bersenjata yang tidak bersifat internsional adalah ketentuan yang termuat dalam Pasal 3 Konvensi-konvensi Jenewa 1949, yang dikenal dengan aturan hukum humaniter internasional yang paling inti/ standar minimum humaniter. Aturan ini merupakan aturan yang berlaku pada semua jenis konflik bersenjata, antaralain mengatur kewajiban para pihak yang berkonflik untuk memberikan perlakuan yang manusiawi kepada para korban serta memberikan kesempatakan ekpada para korban untuk dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, termasuk dengan memungkinkan mereka memperoleh bantuan kemanusian yang diperlukan dari pihak-pihak neteral yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Apapun situasi yang terjadi dalam suatu negara baik dalam keadaan perang sekalipun tidak ada pembenaran untuk menggunakan tindakan kekerasan yang berlebihan atau adanya tindakan pengurangan hak dasar dari manusia salah satunya adalah larangan penyiksaan, ada aturan tersendiri yang mengatur untuk masalah penyelsaian atau tata cara dalam kondisi sengketa bersenjata internasional bahkan dalam ketegangan nasional aturan hukum nasional pun tetap untuk ditegakkan demi penghormatan terhadap hak-hak dasar manusia.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Posisi dari para negara-negara atau lebih tepatnya yakni para penegak hukum dalam pelaksaaan tugas dan wewenangnya, untuk melindungi dan menghormati hak-hak dari semua orang, baik yang ditegakan dalam hak asasi manusia maupun dalam hukum humaniter. Bila suatu negara dalam keadaan sengketa bersenjata atau kerusuhan dan ketegangan internal, atau dibawah keadaan darurat yang diumumkan, tidak boleh menghilangkan kewajiban tersebut, juga tidak dapat diberlakukan sebagai pembenaran bagi tidak dipatuhinya hak-hak dan kebebasan dasar. Keadaan-keadaan sengketa bersenjata tidak terjadi seketika. Keadaan demikian merupakan hasil dari kemerosotan hukum dan ketertiban di suatu negara yang merupakan tanggung jawab utama organisasi-organisasi penegak hukum. Keterlibatan para pejabat penegak hukum, sesuai dengan sifat tugas mereka, dalam menangani demontrasi dengan kekerasan, kerusuhan dan ketegangan yang dapat meningkat kepada perang saudara seharusnya menyadarkan mereka akan prinsip-prinsip hukum humaniter dan hak asasi manusia yang padu dalam operasi lapangan dan latihan. Praktik penganiayaan dilarang dalam hampir semua instrumen hak-hak asasi manusia internasional yang komprehensif. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (1948) menetapkan bahwa “tak seorangpun boleh dijadikan penganiayaan atau kekejaman perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat”. Sifat fundamental dari hak asasi manusia atau kebebesan dari penganiayaan ditekankan oleh fakta bahwa berdasarkan instrumen hak-hak asasi manusia internasional yang utama, hak ini tidak boleh dirampas apakah pada masa “keadaan negara darurat yang mengancam kehiduan bangsa”.
DAFTAR PUSTAKA
- 1. BUKU
– Ambarwati, 2009, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, PT RajaGrafindo Persada, Jakarata.
– C. De Rover, 2000, To Serve & To Protect Acuan Universal Penegakan HAM, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
– Haryomataram, 2007, Pengantar Hukum Humaniter, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
– T. Mulya Lubis, 1993, Hak-Hak Asasi Mnausia Dalam Masyarakata Dunia Isu dan Tindakan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
- 2. ARTIKEL
– Wahyu Wagiman, 2005, Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia (Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X Tahun 2005), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta.
- 3. LEGAL INSTRUMENT
– KONVENSI JENEWA 1949
– CUSTOMARY INTERNATIONAL HUMANITARIAN LAW
– THE UNIVERSAL DECLARATION OF HUMAN RAIGHT (UDHR)
– THE INTERNATIONAL COVENANT ON CIVIL AND POLITICAL RIGHTS (ICCPR)
– CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMEN (CAT) 1984
– STATUTA ROMA 1998
– UNDANG-UNDANG NOMOR 39 TAHUN 1999 TENTANG HAK ASASI MANUSIA
[1] Wahyu Wagiman, 2005, Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia (Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X Tahun 2005), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, Jakarta, h. 5.
[2] Haryomataram, 2007, Pengantar Hukum Humaniter, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 36.
[3] T. Mulya Lubis, 1993, Hak-Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Dunia Isu dan Tindakan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, h. 41.
[4] Haryomataram, op.cit, h. 75.
[5] C. De Rover, 2000, To Serve & To Protect Acuan Universal Penegakan HAM, PT RajaGrafindo Persada, Jakarata, h. 101.
[6] Pasal 3sebagai berikut: dalam sutau konflik bersenjata yang bersifat tidak internasional yang terjadi di wilayah salah satu pihak yang mengadakan perjanjian, masing-masing pihak yang berkonflik berkwajiban untuk menerapkan, minimal, ketentuan-ketentuan berikut: (1) pribadi-pribadi yang tidak mengambil bagian aktif dalam peperangan kecil-kecilan, termasuk para anggota angkatan bersenjata yang telah meletakkan senjata mereka dna mereka yang tidak lagi dapat berperang karena sakit, ,luka-luka, tertawan atau sebab-sebab yang lain harus selalu dalam segala keadaan diperlakukan secara manusiawi, tanpa diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, agama atau keyakinan, seks kelahiran…. untuk tujuan ini tindakan-tindakan berikut ini terhadap orang-orang tersebut di atas adalah dan harus tetap terlarang pada waktu dan tempat mana pun: (a) kekerasan terhadap kehidupan dan pribadi, terutama sega jenis pembunuhan, pengurangan, perlakuan yang kejam dan penganiayaan…. (b) penghinaan terhadap martabat pribadi, khususnya, segala jenis perlakuan yang memalukan dan merendahkan martabat….
[7] Ambarwati, 2009, Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, PT RajaGrafindo, Jakarta, h. 64.
[8] Lihat Pasal 4 UN International Covenant or Civil and Political Rights
[9] Ambarwati, op.cit, h. 184-185.
[10] T. Mulya Lubis, op.cit, h. 44.
[11] C. De Rover, op.cit, h. 401.